Senin, Januari 29, 2018

Renungan Senin Terakhir Januari 2018

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Allah ta’ala  berfirman yang artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”

QS. al-Anbiyaa’: 35

Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an- menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.”
( Tafsir Ibnu Jarir )

Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.

Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya.

( HR. Muslim)

Sakit akan menghapuskan dosa

Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”

QS. asy-Syuura : 30

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya.

(HR. Muslim)

Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda :

“Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”

Allah memerintahkan :
1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.
2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya
3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.
4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat ke 4 , Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa-dosanya kepada hamba mukmin. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa-dosa ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab: “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa-dosanya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa-dosa tersebut ke dalam laut.”

Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”

Sabtu, Januari 27, 2018

Ini dia soal dwifungsi polri

Rilis Media
PUSAT STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

*MENYOAL 'DWIFUNGSI' POLRI*

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak telah diselenggarakan sejak tahun 2015 dengan beragam kendala dan keberhasilan yang dapat dijadikan pelajaran. Pada perhelatan Pilkada 2018 ini, sebanyak 171 daerah, yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018. Beberapa provinsi diantaranya adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara. Khusus kedua provinsi tersebut, masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur akan habis pada 13 Juni 2018 untuk Jawa Barat dan 17 Juni 2018 untuk Sumatera Utara. Dengan demikian, maka terdapat kekosongan jabatan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur di kedua provinsi tersebut.

Kekosongan jabatan dimaksud, sesungguhnya juga telah diatur di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) bahwa dalam terjadi kondisi yang demkian, akan diangkat penjabat Gubernur. Di dalam Pasal 201 ayat (10) disebutkan bahwa posisi penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan ASN yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri atau daerah yang bersangkutan.

Namun, secara mengejutkan, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan wacana untuk menjadikan unsur kepolisian sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, baik disebabkan petahana yang cuti mengikuti Pilkada maupun karena berakhirnya masa jabatan kepala daerah sebelum pilkada berlangsung.

Padahal, amanah reformasi tegas menyatakan diantaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil.

Atas dasar itu, kami dari Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa jabatan penjabat Gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI serta berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi. Pernyataan tersebut didasarkan kepada hal-hal berikut:

1. Jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur *harus* berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada. Wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi.

2. Mendagri merujuk kepada Permendagri No. 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah, namun Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada. Di dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri tersebut memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi. Dari dasar inilah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, di dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur.

3. Wacana menjadikan perwira tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat Gubernur merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan “dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru.

4. Penunjukan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil. Bila mengacu kepada UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya maka diatur mengenai darurat sipil. Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Presiden menetapkan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) yang terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut. Padahal, seperti diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara sedang dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan. Oleh karena itu, PSHTN menganggap bahwa wacana Mendagri tersebut justru berpotensi menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk berlangsungnya pilkada di daerah yang bersangkutan.

Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak Presiden untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden mengenai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari kalangan non sipil (TNI/Polri). Hal ini agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Jangan sampai kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.

Jakarta, 26 Januari 2018

Mustafa Fakhri
Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Narahubung:

Ghunarsa Sujatnika (087787408735)
Ketua Departemen Media dan Publikasi

Mata Najwa Oh Mata Najwa

~ MATA NAJWA DAN MISTERI REKLAMASI~
( 100 Hari Anies-Sandi memimpin DKI)

Karena permintaan kawan, saya akan mencoba mengupas Mata Najwa tadi malam yang acaranya sudah pindah ke Trans-7.
Tetapi ibarat "Onta" pindah kandang, Mata-nya tentu saja masih tetap milik "Onta" yang sama , begitu juga kalau Mata-nya milik "Babi, Babinya tetap saja Babi yang sama", hanya kandangnya yang berbeda tapi selera kemungkinan besar masih sama.
Kandang di Trans-7 mungkin sedikit lebih wangi karena pemilik Trans-7 tidak ikut terjun langsung ke pertarungan politik praktis, walaupun saya yakin tetap masih di belit unsur kepentingan.

Menonton Mata Najwa tadi malam, saya sependapat dengan banyak sahabat, Uda Karni Ilyas jauh lebih baik dan kelihatan berkelas membawakan Acara Talk Show Live Indonesia Lawyers Club yang selama ini dianggap menjadi saingan Mata Najwa.
Biarpun dengan suara berat yang serak dan intonasi yang sering tertahan di ujung tenggorokan, tapi Uda Karni benar-benar bertindak sebagai Presenter yang mencari jawaban sekaligus menggali informasi dari Narasumber.

Bukan seperti gaya Nana (panggilan akrab Najwa) tadi malam yang berulang-kali bertanya tapi malah dijawab sendiri.
Paling mengesalkan bagi penonton dan tentu saja bagi Narasumber-nya adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai di jawab tapi sudah di susul pertanyaan yang lain.
Sepertinya Nana bukan sedang mencari jawaban apalagi menggali informasi , gaya Nana jadi Presenter justru lebih mirip Jaksa di Persidangan yang mencari-cari celah kesalahan dan lucunya bertindak sekaligus jadi Hakim dengan berusaha membuat kesimpulan sendiri.
Selamat Dek Nana, Mata Najwa tadi malam berubah menjadi Parodi Persidangan picisan dan sepertinya kamu jauh lebih berbakat jadi Penyidik di KPK atau Kejaksaan tingkat kelurahan!

Untunglah tadi malam yang jadi Narasumber adalah seorang Anies Baswedan, Pemimpin cerdas yang tangkas ditambah dengan kemampuan beliau dalam mengendalikan emosi di atas rata-rata orang Indonesia. Biarpun beberapa kali beliau belum selesai ngomong sudah langsung di potong, tapi tetap saja beliau bisa santai dan bersikap plong. 
Saya tidak bisa membayangkan kalau Narasumbernya orang yang punya emosi labil dan sombong, misalnya Ahok yang di perlakukan begitu?
Mungkin saja kata-kata, "tai, nenek lo, bangsat" akan langsung berhamburan dan menyembur kemana-mana bercampur jigong,  bukan hanya ke mata tapi ke muka, gigi dan telinga Dek Nana. Atau kalau gaya Nana tadi malam dia lakukan dengan Narasumber yang punya perbendaharaan kata terbatas, misalnya Haji Siregar KW Dua, saya yakin semua orang di studio akan ikut mendadak bego, karena Narasumbernya akan lebih banyak planga-plongo ?

Kalau saya tidak salah, saya pernah menonton episode  Mata Najwa dengan Narasumbernya Ahok dan Haji Siregar KW Dua, tapi saya melihat di eposide-episode tersebut Nana justru lebih mirip seorang Stand Up Komedian, pertanyaannya sangat ringan dan lebih sering memancing untuk mendapatkan jawaban guyonan dan tepuk tangan,  mirip acara reuni ibu-ibu arisan yang saling memuji bedak dan perhiasan.

Baiklah, mungkin saja Mata Najwa belum bisa move on seperti si Ananda Sukarlan yang nyinyirnya keterlaluan ; musibah gempa di sekitar Jakarta saja di jadikan bahan candaan, khas Kelompok Double-Kotakers yang logikanya sering kebolak-balik karena Otak mereka seringkali melorot dari Kepala ke Tempurung lutut atau malah terjatuh ke kaki karena rasa iri dan dengki kepada Anies-Sandi.
Saya juga sepakat, mulai sekarang Mata Najwa lebih cocok berganti nama jadi Congor Najwa, sepertinya lebih meyempurnakan jiwa-mu, Dek Nana.

Bagaimanapun tadi malam ada sedikit segmen yang cukup menarik, dan kita harus berterima kasih secara khusus untuk Talk Show Mata Najwa ini, yaitu potongan wawancara Alfito Deannova Gintings dengan Oppung sang "Jenderal Segala Medan".
( silahkan tonton di https://youtu.be/Sodh7vE0jPg)

Sedikit menarik karena gaya arogansi dan pembelaan berlebihan Oppung terhadap reklamasi justru membuat banyak orang makin curiga, orang ini dapat apa?
Sangat tidak masuk akal sampai Rizal Ramli, Menko Maritim yang berani memoratorium Reklamasi harus tersingkir dan di gantikan "si Jenderal Segala Medan".
Kalau mendengar keterangan dari Pak Anies secara Undang-Undang,  Reklamasi sepenuhnya adalah kewenangan Pemda DKI tapi kenapa Pemerimtah Pusat sepertinya sangat berkepentingan?
Apakah ada Udang Kecil atau justru UDANG BESAR tanpa huruf "D" , di balik bakwan?

Berulang kali saya tonton kembali wawancara Alfito dengan Oppung di Youtube.
Diwawancara tersebut, saya tertarik dengan statement Oppung mengapa dia habis-habisan membela proyek reklamasi, alasannya karena secara pribadi malu kepada cucu-nya kelak kalau sampai di salahkan merusak iklim investasi di Negeri ini.
Pernyataan yang menurut saya sangat aneh dan ajaib, Pertama Proyek Reklamasi sama sekali tidak mewakili Investasi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat.
Kedua, Proyek Reklamasi setahu saya bukan kepentingan Oppung pribadi, kenapa harus merasa malu dan dianggap aib pribadi ?
Kalaupun dianggap aib, justru beban kesalahannya di Pundak Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, Pak Anies-Sandi.
Tentu saja kecuali ada Udang Kecil apalagi UDANG BESAR tanpa huruf "D", yang harus di pertanggung jawabkan,ceritanya akan jadi berbeda.
Tapi saya yakin seperti kata Oppung di Wawancara tersebut, beliau sudah sangat cukup kaya untuk ukuran Prajurit, kalau boleh saya tambahkan bahkan  untuk ukuran Pejabat, Karena Perusahaan Oppung bertebaran di Bumi Kalimantan ini.
(http://m.bisnis.com/industri/read/20131103/44/184423/inilah-16-perusahaan-milik-luhut-pandjaitan).
Tapi jangan lupa, Bill Gates sekalipun masih tetap butuh uang,kawan!

Kalau menurut saya, Proyek Reklamasi harus di ungkap terang-benderang karena sepertinya  penuh dengan misteri, berulang kali melanggar aturan misalnya belum punya IMB, tapi sudah mendirikan bangunan bahkan sudah di perjual belikan sampai ke Luar Negeri.
Belum lagi Sertifikat tanah nya yang secara ajaib bisa selesai dalam satu malam.
(https://m.detik.com/news/berita/d-3619873/ini-alasan-bpn-cepat-keluarkan-sertifikat-hgb-reklamasi-pulau-d).
Alasan BPN ingin memberikan perubahan dalam pelayanan sangat memuakkan, Sialan...apa kalian pikir rakyat begitu bodoh untuk melihat UDANG BESAR tanpa huruf "D" di balik Bakwan?

Sebagai penutup buat Oppung, saya akan kasih tau apa itu aib yang memalukan?
Sebagai salah satu orang penting di rezim ini, kau wajib ikut menanggung malu atas tragedi Kejadian Luar Biasa (KLB) Busung Lapar di Papua.
Jadi tolong rasa malu kalian wahai para Pejabat untuk kepentingan semua rakyat, bukan hanya untuk segelintir konglomerat.
Kalian di sumpah untuk melayani rakyat di negeri ini bukan bertindak arogan atas nama kekuasaaan, apalagi sampai berbuat sewenang-wenang hanya karena uang.

#KamiBersamaAnies_Sandi
#KomunitasKomunikasiCintaIndonesia

Dari status fb Azwar Siregar (yg diarang tayang oleh Markzuker Bekker)

Belajar Wordpress GRATIS di sini...

Belajar Bisnis Online